Memahami Mujadalah | Republika Online Mobile – Khazanah

Pada artikel ini kami akan menjelaskan Rasulullah saw dalam melakukan dakwahnya dengan cara mujadalah maksudnya Kalau kamu juga tertarik, pada artikel ini Nha Xinh akan menjelaskan tutorialnya untuk kamu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Terdapat berbagai metode dalam dakwah Islam sehingga umat Islam dapat tumbuh pesat seperti saat ini. Salah satu metode dakwah yang digunakan oleh umat Islam adalah metode mujadalah. Metode ini kerap kali digunakan oleh ulama-ulama terdahulu untuk mendapatkan sebuah kebenaran menuju Allah SWT.

Mujadalah berakar dari kata jaadala yang artinya berbantah-bantah, berdebat, bermusuh-musuhan, dan bertengkar. Secara istilah, kata “mujadalah” berarti berdiskusi dengan mempergunakan logika yang rasional dengan argumentasi yang berbeda. Namun, jika mengacu pada akar kata tersebut, mujadalah dapat berdampak positif dan negatif.

Mujadalah yang berdampak negatif dapat disandarkan dengan arti bermusuh-musuhan dan bertengkar. Sementara, mujadalah positif dapat diartikan dengan berdiskusi atau perundingan yang ditempuh melalui perdebatan dan pertandingan serta kemampuan mempertahankan pendapat dengan baik.

Mujadalah juga berarti upaya bertukar pendapat yang dilakukan oleh dua belah pihak secara sinergis tanpa adanya suasana yang mengharuskan adanya perseteruan di antara keduanya. Namun, salah satu ulama dalam filsafat Islam, Ibnu Sina, berpendapat bahwa makna kata jaadala adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan bicara.

Menurut ulama al-Jurjani, kata jaadala dapat berarti mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan bicara dari pendirian yang dipeganginya. Banyak ulama lainnya yang memaknai kata jaadala dengan makna yang hampir sama, yang berbeda hanyalah persoalan redaksi.

Dalam Alquran sendiri, Allah telah menjelaskan mujadalah dengan cara yang lebih baik atau positif. Seperti kata jaadala dalam surah an-Nahl ayat 125, mujadalah dapat diartikan berbantah-bantahan atau berdiskusi. Namun, jika dimaknai dengan bermusuh-musuhan ataupun bertengkar, tampaknya tidak sesuai dengan maksud ayat tersebut secara keseluruhan.

Berikut firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 125, “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa yang sesat di jalan-Nya, dan Dialah yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk.” (QS an-Nahl [16]: 125).

Dalam memahami ayat tersebut tampaknya sesuai dengan penjelasan yang disampaikan Muhammad Khair Ramadhan Yusuf. Ia menjelaskan bahwa mujadalah al-lati hiya ahsan atau mujadalah positif adalah ungkapan dari suatu perdebatan antara dua sudut pandang yang bertentangan untuk menyampaikan kepada kebenaran. Dan, kebenaran tersebut bertujuan untuk membawa kepada jalan Allah SWT.

Kata jaadala di Alquran ditemukan sebanyak 29 kali dalam berbagai bentuk dan tersebar dalam 15 surah. Surah yang diturunkan di Makkah sebanyak 10 surah, dan yang diturunkan di Kota Madinah sebanyak lima surah. Data tersebut menunjukkan bahwa metode dakwah mujadalah lebih banyak digunakan di kalangan masyarakat Makkah. Hal ini karena masyarakat Makkah saat itu masih sangat radikal dengan persoalan akidah.

Persoalan akidah yang menjadi pembahasan ketika itu, di antaranya, masalah penetapan kerasulan, hari kebangkitan dan pembalasan, hari akhirat, serta neraka dan surga. Karena itu, mujadalah juga dipraktikkan untuk menangkal bantahan orang-orang kafir dengan dalil akal dan melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada alam.

Melihat kondisi keagamaan masyarakat Muslim saat ini, seharusnya setiap Muslim dapat menggunakan metode mujadalah dalam mencari kebenaran. Namun, beberapa kelompok kini masih ada yang berdakwah dan berdiskusi secara sembunyi-sembunyi tentang ajaran Islam sehingga justru dapat menimbulkan pemahaman-pemahaman yang menyimpang.

Dengan melakukan dakwah atau debat terbuka, hal itu akan dapat memunculkan sanggahan atas tanggapan dari orang lain. Sehingga, dapat diterima dengan senang hati oleh semua pihak. Karena itu, setiap Muslim harus bisa berargumentasi yang logis dan jelas. Sehingga, dapat sampai pada suatu kebenaran tanpa menimbulkan kebencian dan permusuhan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mujadalah adalah tukar pendapat yang dilakukan dua belah pihak secara sinergis dan tidak melahirkan permusuhan. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.

Dalam buku Pengantar Metode Dakwah karya Wahidin Saputra dijelaskan bahwa dalam bermujadalah, antara satu dengan yang lainnya harus saling menghargai dan menghormati, pendapat keduanya berpegang pada kebenaran, serta mau mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, “Jika engkau berkata kepada manusia diamlah, sedangkan mereka tengah berbicara, maka sesungguhnya engkau telah berdosa atas dirimu sendiri.” (HR Imam Ahmad).